Banda Aceh - Sejumlah organisasi dan lembaga di Aceh telah membentuk Koalisi Kawai Haba Demokrasi Aceh (KAHA), sebuah koalisi pengawal informasi Pilkada, untuk melawan kesimpangsiuran informasi dalam proses pemilihan kepala daerah 2024. "Koalisi ini dibentuk dari gabungan elemen masyarakat lintas profesi, etnis, dan usia dengan tujuan yang sama untuk mengawal pilkada Aceh dengan memberikan informasi yang faktual dan lengkap," kata Reza Munawil, Presiden Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, di Banda Aceh, Minggu. di Banda Aceh. Deklarasi Koalisi Kawai Haba Demokrasi Aceh dilakukan dalam sebuah diskusi kelompok terfokus (FGD) yang difasilitasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh. Koalisi ini terdiri dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, PWNU Aceh, PW Muhammadiyah Aceh, The Leader, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Aceh, Aceh Institute, Mafindo Aceh, Hakka Aceh, dan Serikat Pemuda Ketahanan Demokrasi. Terdiri dari.

Berikutnya adalah Kata Hati Institute, MaTA, Koalisi NGO HAM, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), LBH Aceh, Youth ID, Flower Aceh, Solidaritas Perempuan Aceh (SP) dan Koalisi NGO HAM Aceh.

Reza menyatakan bahwa penyelenggaraan pilkada serentak 2024 di Aceh dapat dibayangi oleh penyebaran disinformasi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman dan bahkan memicu perpecahan di tengah masyarakat.

Kerja sama multisektoral ini dinilainya penting untuk menangkal penyebaran disinformasi dan mengedepankan kejelasan informasi terkait pelaksanaan pesta demokrasi. Dengan demikian, kata dia, masyarakat Aceh memiliki akses terhadap informasi yang dapat dipercaya dan tidak terjebak dalam kesimpangsiuran informasi yang menyesatkan. Sementara itu, Ketua KIP Aceh, Saiful, menyambut baik dan mendukung penuh keberadaan koalisi ini untuk mencegah kemungkinan meningkatnya isu-isu bohong menjelang pilkada.

Ia mengatakan bahwa pengalaman dari pemilu-pemilu sebelumnya telah membuktikan bahwa penyebaran hoaks dapat menimbulkan kekacauan, perpecahan, pertengkaran, dan bahkan permusuhan di tengah-tengah masyarakat. "Sehingga penting untuk mengantisipasi masalah hoaks di masyarakat melalui kegiatan pencarian fakta," kata Saiful.

Sementara itu, Faisal Ali (alias Rem Faisal), Ketua Pengurus Wilayah Nahlatul Ulama (PWNU) Aceh, mengatakan bahwa tidak ada latar belakang agama, adat, maupun hukum yang membenarkan penyebaran berita bohong. Menurut dia, masyarakat, terutama kaum intelektual, harus menganggap hoaks sebagai sesuatu yang najis, sehingga tidak mudah terprovokasi dan menyebarkannya.

"Penyebaran hoaks sangat berbahaya dan tidak hanya berdampak pada segelintir orang, tetapi juga dapat menghancurkan masyarakat.

Menurut Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh No. 6 Tahun 2018 tentang penyebaran hoaks dan dampaknya, membuat dan menyebarkan hoaks hukumnya haram dan bertentangan dengan hukum positif dan hukum adat. "Jadi, memperjelas narasi demokrasi dapat dilakukan melalui kegiatan pencarian fakta yang dapat membantu masyarakat terhindar dari potensi misinformasi, disinformasi, dan informasi yang berbahaya," kata Rem Faisal. 39 Disinformasi, di sisi lain, adalah informasi palsu yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk menipu orang dan mencapai tujuan tertentu. 40 41 Informasi palsu adalah informasi yang mungkin benar tetapi disajikan dengan cara yang merugikan pihak-pihak tertentu.